KHAZANAH – Pikiran Rakyat, 29 September 2007
KANVAS Udin antara adalah kanvas dengan visualisasi Bali yang elok. Kanvas yang merekam seluruh denyut gerak di Pulau Dewata itu dalam ketakjuban dan keindahan. Misteri, yang senantiasa hadir dalam tema – tema ihwal Bali, di atas Kanvas Udin Antara sekonyong – konyong telah di padatkan menjadi ketakjuban gerak manusia. Lihatlah, misanya, “Value off Time”, “Having Fun before Celebration”, atau “Sharing Happiness After”. Dalam ketiga karya nya itu, pura sebagai ruang sakral yang menjadi poros dari misteri hidup manusia Bali, tampak samar sebagai latar. Pura di hadirkan dalam sapuan yang nyaris menjadi bayang – bayang. Dan mungkin diteras pura itulah, lima orang gadis berpakaian penari legong tengah bercanda.
Ada yang seperti sengaja dikontraskan di situ, antara ekspresi para gadis yang riang dengan pakaian yang berwarna emas penuh ornamen, serta dinding pura yang membayang di kejauhan. Yang sakral seolah hanya menjadi latar bagi keriangan manusiawi kelima gadis berpakaian penari legong itu. Keelokan para gadis muda dengan pakain penari legong yang megah itu telah merebut seluruh bagian dari pura. Akan tetapi, mungkin juga tidak. Sebaliknya, bayang – bayang pura yang sakral itu bermakna lebih dari sekedar hanya sebagai latar. Melainkan sesuatu yang terus melingkupi seluruh keriangan, keindahan, dan keelokan para gadis berpakaian penari legong itu.
Udin Antara memang hanya satu dari sekian banyak pelukis yang terpesona oleh Bali. Akan terlalu panjang daftar nama pelukis para pelukis yang tak henti – henti mengekplorasi Bali di atas kanvas. Dengan misteri dan eksotisme keindahanya, Bali, jauh sebelum Walter Spice datang dan tinggal disitu, telah memesona banyak seniman. Terlebih para pelukis. Bali selalu menjadi tujuan pengembaraan para pelukis, menempuh banyak jarak dalam romantisme perjalanan para seniman, termasuk ketika mereka hidup di Bali, menyatu bersama masyarakatnya. Dan selalu seluruhnya lantas menjadi kisah – kisah yang mengantarkan karena tak sedikit yang memulainya dengan kesengsaraan dan kemeralatan, seperti juga dengan jujur terbaca dalam tulisan-tulisan pelukis Nashar.
Inilah juga yang menjadi kisah di balik perjalanan panjang kanvas Udin Antara, sebelum diatas kanvasnya pelukis kelahiran Tulungagung tahhun 1968 itu, kini menghamparkan Bali sebagai sesuatu yang indah dan elok sehingga karya – karyanya di pamerkan di Kevin McPherin Gallery Florida America Serikat pada tahun 1997 dan 1998 yang lalu. Sebuah pemandangan yang berbeda dengan kenangan pergulatannya dalam perjalanan menuju Bali dan hidup di pulau itu.
“Setelah saya keluar dari panti asuhan, waktu sekolah di STM dan bekerja sebagai tukang cetak foto, saya sering melihat tayang di TV tentang Bali. Dan saya ingin sekali ke sana” kenang pelukis yang sejak tahun 2001 yang lalu memilih tinggal di Bandung ini.
Kemiskinan keluarganya membuat Udin Antara harus rela hidup di panti asuhan sejak ia lulus SD sampai ia lulus SMP. Seraya terus menekuni kegemaranya, terutama lukis foto, berbagai pengalaman pahit harus diterimanya, termasuk ketika para pengasuh panti memaksanya berbohong untuk mengatakan bahwa ayahnya sudah meninggal, padahal masih hidup. Ketika ayahnya itu benar – benar meninggal, Udin sungguh sangat menyesalinya.
Setelah keluar dari panti, menumpang hidup disana – sini dan bekerja sebagai tukang cetak foto, akhirnya Udin Antara nekat berangkat ke Bali dengan hanya membawa kantung kantung plastik berisi kuas dan cat. Sejak kerap melihat Bali dalam tayangan TV, pulau itu seperti terus memanggil-manggilnya. Tentu saja perjalanan pemuda miskin yang nekat ke Bali tanpa bekal apapun ini nyaris tak ubahnya dengan perjalanan seorang gelandangan. Peristiwa dilemparkan kondektur ketika kereta berjalan karena tak memiliki karcis hanyalah bagian kecil dari pengalaman pahit yang harus di terima, termasuk juga kelaparan berhari-hari.
“Setiap kali perut saya lapar, saya hanya bisa berdoa dan berzikir. Banyak sekali pengalaman-pengalaman aneh yang saya temui sebagai bukti kebesaran tuhan” tuturnya, seraya menambahkan bahwa sepanjang perjalanan itu ia hanya bisa mengandalkan hidupnya dari membuat dan menjual gambar – gambar di kaki lima yang tentu saja tak pernah cukup. Terlebih lagi ia masih tebilang belajar.
Setelah sampai di Bali, kesengsaraan berikutnya menunggu. Dari mulai bekerja sebagai kuli bangunan hingga menjadi penjaga burung perkutut. Namun, di tengah itu semua gairahnya melukisnya tak pernah padam meski setelah beberapa galeri, tak ada satu pun galeri yang berminat.
“Saya kos di Ubud dan mulai mencoba melukis gaya Bali. Orang Bali melukis burung, saya melukis burung. Melukisnya lama dan details. Terus saya bawa ngasong keliling Ubud ke galeri – galeri, tetapi selalu di tolak, dan terpaksa jadi kuli bangunan lagi. Begitu terus selama dua tahun,” ujarnya menerawang.
Siang menjadi kuli bangunan dan malam melukis, itulah yang di lakukan Udin. Ia tak lagi mau pusing memikirkan apakah karyanya akan terjual atau tidak, pokoknya ia hanya ingin melukis. Ia yakin bahwa suatu hari akan ada orang datang berminat pada karyanya. Dengan kata lain, Udin mulai memasuki proses kreatifnya yang melulu hanya ingin asyik melukis leluasa tanpa lagi terbebani oleh pertanyaan apakah ada orang yang mau membeli karyanya? Tahun 1992 setelah menikah, udin mulai menemukan sebuah permulaan dari apa yang selama ini di laluinya, ketika sebuah karyanya yang berjudul ” Kuda” terjual seharga Rp 25 ribu.
KANVAS Udin Antara adalah kanvas yang menyimpan jejak perjalanan seorang pelukis yang memulai segalanya bukan dari dunia sekolah seni, bahkan bukan juga dari sebuah sanggar. Secara tehnis ia merasa tak pernah belajar dan berguru pada siapa pun, keculai pada guru melukisnya ketika sekolah di SMP. Seluruhnya berangkat dari semangat menyerap pengalaman dan memaknai penderitaan itu sendiri. Meski kini harga lukisannya mencapai harga Rp 55 juta, namun Udin tidaklah lantas merasa bahwa ia telah mencapai puncak kariernya sebagai seorang pelukis.
Tahun ini Udin terpilih oleh Komite Seni Singapura sebagai salah seorang pelukis di antara 29 pelukis dari 14 negara dan 87 Galeri yang karya – karyanya berhak mengikuti “Singapore Art Fair”, di Singapura 4 – 8 Oktober 2007 mendatang. Selain karya – karya seperti Affandi, Srihadi Soedarsono,Chua Ek Kay, Fernando Botero, Chen Wenling, Wang Jinsong, Zhang Delong, dalam “Singapore Art Fair” ini juga akam pamerkan karya legendaris Andy Warhol.
Menurut Hengky, dari Galeri Zola Zulu, kehadiran karya – karya Udin Antara dalam “Singapore Art Fair” menjadi sebuah penanda menarik karena menawarkan estetika lokal (Bali) lewat kemampuan teknisnya yang tak kalah menarik. Bali di atas kanvas Udin Antara memang merupakan sebuah visualisasi elok dalam stlye ungkap realis yang memperlihatkan kematangan teknisnya. Namun, tak hanya sekedar memberi penanda pada keindahan dan keelokan, soal yang tidak kalah lebih penting adalah bagaimana Udin menyiasati keindahan itu untuk lantas dihadapkannya dengan misteri ruang-ruang sakral di Bali. (Ahdan Imran)